News, Science

Raden Saleh “Bapak” Ilmu Lukis Indonesia

Raden Saleh
Raden Saleh Painter in Batavia (Gambar dari Wikipedia)

Raden Saleh Sjarif Boestaman, adalah pelukis Indonesia beretnis Arab-Jawa yang mempionirkan seni modern Indonesia (saat itu Hindia Belanda). Lukisannya merupakan perpaduan Romantisisme yang sedang populer di Eropa saat itu dengan elemen-elemen yang menunjukkan latar belakang Jawa sang pelukis. Ia dilahirkan pada tahun 1807 di Semarang, Hindia Belanda (nama Indonesia pada saat dulu) namun ada juga versi lain yang menyebutkan bahwa ia dilahirkan pada tahun 1811. Dan meninggal pada tanggal 23 April 1880 di Buitenzorg (sekarang Bogor), Hindia Belanda.

Potret Raden Saleh
Raden Saleh (Gambar dari Wikipedia)

Raden Saleh lahir dari keluarga Jawa ningrat, Ayahnya adalah Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin Jahja, seorang keturunan Arab. Ibunya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen, tinggal di daerah Terboyo, dekat Semarang. Namun pada umur 10 tahun ia diserahkan ke pamannya yang seorang Bupati Semarang. Bakat melukisnya mulai terlihat saat ia belajar di Volks-School (sekolah rakyat).

Keramahannya dalam bergaul membuatnya mudah untuk diterima dilingkungan elit orang-orang belanda, bahkan Prof. Caspar Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan pulau sekitarnya, menilainya pantas untuk mendapatkan ikatan dinas di instasinya. Kebetulan di instansi tersebut ada pelukis keturunan Belgia,  A.A.J. Payen yang didatangkan dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di Pulau Jawa untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieen di Belanda.

Antoine Auguste Joseph Payen
AAJ Payen (Gambar dari http://www.biografischportaal.nl)

Payen tertarik dengan potensi yang dimiliki oleh Raden Saleh, lalu ia pun mengajari Raden Saleh cara melukis Barat dan teknik pembuatannya, seperti melukis dengan cat minyak. Tugas pertama yang diberikan Payen untuk Raden Saleh ialah menggambar tipe-tipe orang Indonesia ditempat yang ia singgahi.

Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan agar Raden Saleh bisa belajar ke Belanda. Usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen yang memerintah waktu itu (1819-1826), setelah ia melihat karya Raden Saleh.

G.A.G.Ph. van der Capellen
G.A.G.Ph. van der Capellen (Gambar dari wikipedia)

Tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock, Capellen membiayai Saleh belajar ke Belanda. Namun, keberangkatannya itu menyandang misi lain. Dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda untuk Departemen van Kolonieen tertulis, selama perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa, Bahasa Jawa, dan Bahasa Melayu. Ini menunjukkan kecakapan lain Raden Saleh.

Saat itu Napoleon belum lama mati. Pasukannya cerai berai dan wilayah kekuasaannya dibagi-bagikan. Eropa yang lelah berperang, sedang berganti paras buat menyambut era industrialisasi.

Saat semacam itulah Raden Saleh tiba di Eropa. Ia dititahkan penguasa kolonial Belanda untuk belajar seni rupa di Koninklijke Academie van Beeldende Kunsten Den Haag. Kepergiannya dimaksudkan sebagai eksperimen sosial. Buat menjawab apakah seorang pribumi bisa dididik menjadi Europeanen, warga kulit putih Eropa.
Maka selama sepuluh tahun Raden Saleh berkutat di Den Haag. Hingga akhirnya ia mulai berkelana tahun 1839.

Pengembaraannya berakhir sementara di Dresden. “Kota ini punya dua keunggulan,” tulisnya kepada Kementrian Kolonial Belanda. “Di sini ada banyak obyek untuk dipelajari. Pertama museum-museum berisikan lukisan, benda dan naskah kuno. Selain itu saya mendapat izin buat bekerja di sana dari Raja dan Pangeran Johann von Sachsen. Keunggulan ketiga adalah pemandangan alamnya.”

Dresden pada era Raden Saleh didominasi oleh kaum liberal. Kebebasan mewarnai politik, pendidikan, seni dan budaya. Saat itu belum ada tempat untuk nasionalisme buta yang berkembang di akhir abad ke-18.

Oleh keluarga ningrat Dresden, Serre, Raden Saleh didorong mendalami romantisme dan memadukannya dengan budaya oriental yang ia bawa. “Bait ini untuk mengenang Mayor Serre dan isterinya yang saya sayangi dan hormati seperti orangtua kedua,” tulisnya pada 21. Agustus 1840.

Hingga kini jejak Raden Saleh masih terasa di Dresden. Surau yang dibangun buat menghormatinya di sebuah desa di jantung pegunungan Erzgebirge, menjadi situs yang dilindungi dan rajin menjaring wisatawan.

Sementara karya-karyanya tersimpan rapih dalam bentuk koleksi pribadi dan museum-museum seni. Salah satu lukisan Raden Saleh bahkan menjadi koleksi Ratu Elizabeth II dari Inggris. Terakhir, lukisan “Berburu Rusa” yang ia lukis tahun 1846 di Dresden laku dengan harga 5,5 miliar Rupiah.

raden saleh

Maka sosok yang oleh harian Frankfurter Allgemeine Zeitung dijuluki sebagai Der Schwarze Prinz alias Pangeran Hitam itu menjadi wajah pertama Indonesia yang berjejak di Jerman. Untuk menghormatinya, museum Lindenau di Altenburg menggelar pameran khusus karya-karya Raden Saleh bulan September tahun lalu.

Penangkapan Diponegoro

Raden Saleh terutama dikenang karena lukisan historisnya, Penangkapan Pangeran Diponegoro, yang menggambarkan peristiwa pengkhianatan pihak Belanda kepada Pangeran Diponegoro yang mengakhiri Perang Jawa pada 1830. Sang Pangeran dibujuk untuk hadir di Magelang untuk membicarakan kemungkinan gencatan senjata, namun pihak Belanda tidak memenuhi jaminan keselamatannya, dan Diponegoro pun ditangkap.

Pada waktu Saleh, peristiwa tersebut telah dilukis oleh pelukis Belanda Nicolaas Pieneman dan dikomisikan oleh Jenderal de Kock. Diduga Saleh melihat lukisan Pieneman tersebut saat ia tinggal di Eropa. Seakan tidak setuju dengan gambaran Pieneman, Raden memberikan sejumlah perubahan signifikan pada lukisan versinya; Pieneman menggambarkan peristiwa tersebut dari sebelah kanan, Saleh dari kiri. Sementara Pieneman menggambarkan Diponegoro dengan wajah lesu dan pasrah, Saleh menggambarkan Diponegoro dengan raut tegas dan menahan amarah. Pieneman memberi judul lukisannyaPenyerahan Diri Diponegoro, Saleh memberi judul Penangkapan Diponegoro. Diketahui bahwa Saleh sengaja menggambar tokoh Belanda di lukisannya dengan kepala yang sedikit terlalu besar agar tampak lebih mengerikan.

“Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden Saleh (1857).
“Penyerahan Diri Diponegoro” karya Nicolaas Pieneman (1835

Perubahan-perubahan ini dipandang sebagai rasa nasionalisme pada diri Saleh akan tanah kelahirannya di Jawa. Hal ini juga dapat terlihat pada busana pengikut Diponegoro. Pieneman sendiri tidak pernah ke Hindia Belanda, dan karena itu ia menggambarkan pengikut Diponegoro seperti orang Arab.
Gambaran Saleh cenderung lebih akurat, dengan kain batik dan blangkon yang terlihat pada beberapa figur. Saleh juga menambahkan detil menarik, ia tidak melukiskan senjata apapun pada pengikut Diponegoro, bahkan keris Diponegoro pun tidak ada. Ini menunjukkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena itu Pangeran dan pengikutnya datang dengan niat baik.

Setelah selesai dilukis pada 1857, Saleh mempersembahkan lukisannya kepada Raja Willem III di Den Haag. Penangkapan Pangeran Diponegoro baru pulang ke Indonesia pada 1978. Kepulangan lukisan tersebut merupakan perwujudan janji kebudayaan antara Indonesia-Belanda pada 1969, tentang kategori pengembalian kebudayaan milik Indonesia yang diambil, dipinjam, dan dipindahtangan ke Belanda di masa lampau. Namun dari itu, lukisan Penangkapan tidak termasuk ketiga kategori tersebut, karena sejak awal Saleh memberikannya kepada Raja Belanda dan tidak pernah dimiliki Indonesia. Lukisan tersebut akhirnya diberikan sebagai hadiah dari Istana Kerajaan Belanda dan sekarang dipajang di Istana Negara,Jakarta.

Beberapa Karya Raden Saleh

Wounded Lion (Gambar dari wikipedia)
Six Horsemen Chasing Deer, 1860 (Gambar dari wikipedia)
Sebuah banjir di Jawa (Gambar dari wikipedia)
British marine vessel in heavy weather (Gambar dari wikipedia)
Hunt (Gambar dari wikipedia)
Pemandangan Jawa, dengan Harimau yang Mendengarkan Suara Pengembara, 1849 (Gambar dari wikipedia)
Gambar dari http://www.dw.de
Penangkapan Pangeran Diponegoro, 1857 (gambar dari wikipedia)

Contohlah Raden Saleh, walaupun ia sudah mendapatkan gelar di luar tanah kelahirannya, ia tetap tidak melupakan perjuangan di tanah kelahirannya. Maka dari itu kita jangan pernah sekali-kali menjadi kacang yang lupa akan kulitnya.

Sumber referensi

Satu pemikiran pada “Raden Saleh “Bapak” Ilmu Lukis Indonesia

Tinggalkan komentar